//
you're reading...
Tafsir

Bedah Kitab Tafsir


Tafsir adalah kunci untuk membuka gudang simpanan yang tertimbun di dalam al-Qur`an. Tanpa tafsir, orang tidak akan bisa membuka gudang simpanan tersebut untuk mendapatkan mutiara dan permata yang ada di dalamnya, sekalipun ia berulang kali mengucapkan lafazh al-Qur`an dan membacanya sepanjang pagi dan petang.

Sungguh sangat disayangkan bila Al-Qur`an itu sering dilafazhkan berulang kali oleh orang-orang Islam dengan irama dan lagu yang mereka dengungkan dalam acara tradisi yang menyedihkan, di pekuburan-pekuburan, dan pada acara-acara yang resmi, tetapi kesan yang di peroleh dari Al-Qur`an sedikitpun tidak membekas, kecuali sekedar nyanyian irama lagu atau sekedar mengambil berkah darinya. (At-Tibyân fi ‘Ulumil Qur’ân)

Untuk membuka gudang simpanan tersebut, maka bangkitlah para ulama-ulama tafsir dengan menumpahkan segala daya dan upaya mereka dalam memberikan pengkhidmatan terhadap kitab Allah Azza wa Jalla. Mereka memberikan penjelasan pada Al-Qur`an agar mudah di pahami dan diamalkan oleh ummat. Namun, dalam menafsirkan kitab Allah azza wa jalla, masing-masing mereka memiliki metode yang ditempuh.  Ada metode yang selamat dan ada pula yang menyimpang.

Berkenaan dengan bertebarannya kitab-kitab tafsir di negeri kita ini, dan perlunya kita mengetahui metode yang ditempuh oleh para mufassirin dalam menafsirkan ayat-ayat Allah, maka kami hadiahkan catatan kecil berikut ini kepada para pembaca budiman. Selamat menikmati.

 

  • Tafsîr Ath-Thabary (Jâmi’ul Bayân fi Ta’wîl Ayyi Al-Qur`ân)

Pengarangnya ialah Ibnu Jarîr Ath-Thabari yang biasa dipanggil dengan sebutan Abu Ja’far (lahir 224 H. dan wafat 310 H.) Aqidahnya adalah aqidah yang dianut oleh para as-salafus shâlih[1] radhiyallahu ‘anhum. Dalam tafsirnya ini, beliau rahimahullahu ta’ala berpegang pada atsar, baik dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, para shahabat, dan tabi’in. Dalam menyampaikan riwayat beliau senantiasa menyertakan dengan sanadnya. Namun ghalibnya, riwayat-riwayat tersebut tidak beliau hukumi status keshahihan maupun kelemahannya. Perhatian beliau terhadap ragam qira’ât, bahasa, nahwu, syair, serta penjelasan hukum-hukum fiqih berikut dengan pendapat yang unggul darinya merupakan keistimewaan yang dimiliki oleh tafsir ini. Hanya saja, terdapat beberapa kisah isrâiliyyat[2] di dalamnya, yang oleh pengarang sebagiannya telah diberikan peringatan dan sebagiannya lagi didiamkan. Kesimpulannya, kitab ini termasuk seagung-agung tafsir al-Ma`tsûr[3] dan memiliki nilai yang begitu besar. Imam Nawawi mengatakan, “Belum ada seorang pengarang pun yang menyamai kitab Ibnu Jarîr.” Wallahu a’lam.


  • Tafsir Ibnu Katsîr (Tafsir Al-Qur`an Al-‘Azhîm)

Pengarangnya ialah Al-Hâfizh ‘Imâduddin Ismâ’il bin ‘Amr Ibnu Katsîr. Panggilannya Abul Fidâ` (lahir 700 H. dan wafat 774 H). Aqidahnya adalah aqidah yang dianut oleh para as-salafus shâlih radhiyallâhu ‘anhum. Dalam tafsirnya ini, beliau memfokuskan pada pentashihan dan pentadh’ifan riwayat serta meriwayatkan atsar dengan sanad-sanadnya. Metode yang beliau gunakan dalam kitabnya ini, adalah menafsirkan Al-Qur`an dengan Al-Qur`an, lalu menafsirkan Al-Qur`an dengan sunnah, kemudian dengan pemahaman para as-salafus shalih. Metode inilah yang menjadikan tafsir ini unggul dari tafsir-tafsir lainnya ditambah dengan adanya keterangan atau peringatan dari cerita-cerita isrâiliyyat yang terdapat dalam tafsir ma’tsûr tersebut. Kesimpulannya, bahwa tafsir ibnu Katsîr adalah sebaik-baik dan semudah-mudah kitab tafsir ma’tsûr yang pernah ada. Imam Adz-Dzahabi berkata, “Ibnu Katsîr adalah imam mufti, perawi hadits yang hebat, ahli fikih yang kreatif, ahli tafsir yang mengutip langsung dari sumbernya.” Wallahu a’lam.


  • Tafsir Az-Zamakhsyari (Al-Kasysyâf)

Pengarangnya adalah Mahmûd bin ‘Umar bin Muhammad bin Ahmad Az-Zamakhsyari. Panggilannya Abul Qâsim (lahir 467 H. dan wafat 583 H.) Aqidahnya adalah Mu’tazilah[4] bahkan dia termasuk pemuka aliran Mu’tazilah. Kitab tafsir ini beliau tulis berdasarkan atas pandangan Mu’tazilah bahkan untuk menaikkan pamor Mu’tazilah.  Ia tafsirkan dan selewengkan ayat-ayat Al-Qur`an agar dapat dijadikan sebagai dalil atas kebenaran aliran Mu’tazilah; sedang aliran Mu’tazilah sendiri termasuk aliran yang sesat yang ada ditengah-tengah ummat ini. Inilah tafsir yang dijadikan corong oleh kalangan Mu’tazilah untuk menyuarakan fatwa-fatwa rasionalnya. Imam Adz-Dzahabi berkata, “Berhati-hatilah kalian dari kasysyafah-nya,” yaitu kitab tafsirnya. Catatan lain untuk kitab ini bahwa penulis memaparkan di dalamnya berbagai permasalahan fikih namun tidak dibahas secara luas, penulisnya penganut mazhab Hanafi yang tidak fanatisme terhadap mazhabnya, dan menyebutkan hadits-hadits palsu mengenai keutamaan surat-surat Al-Qur`an di akhir penafsiran setiap surat. Kesimpulannya, Kitab tafsir ini harus dijauhi oleh pemula dan diwaspadai oleh pengakhiran.

 

  • Tafsir Ibnul Jauzi (Zâdul Masîr fi ‘Ilmi At-Tafsîr)

Pengarangnya adalah Abdurrahman bin ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali. Dikenal dengan nama Abul Faraj ibnu Al-Jauzi (lahir 510 H. dan wafat 597 H.) Karya-karyanya menunjukkan bahwa ada kegoncangan pada aqidahnya. Dimana beliau menetapkan sebagian sifat-sifat Allah dan menta`wilkan sebagian yang lain. Ghalibnya, ia lebih cendrung pada mazhab al-Mufawwidhah, di mana penganut-penganutnya berkata, “Kita membaca ayat-ayat sifat tanpa kita memahami maknanya atau menanyakan kaifiyat (tatacara)nya.” Sementara aqidah salaf dalam hal ini adalah memahami maknanya dan menyerahkan pengetahuan tentang kaifiyahnya kepada Allah, karena ia masuk dalam wilayah ghaib. Mengenai makna, kita mengetahuinya secara jelas karena Al-Qur`an diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas dan gamblang. Ibnul Jauzi dalam kitab tafsirnya ini, menukil pendapat-pendapat salaf tanpa sanad dan menyusunnya dengan susunan yang baik. Beliau amat memperhatikan sisi qira’ah, bahasa, nahwu, dan syair. Sayangnya, ada beberapa cerita isrâiliyyat di dalam kitab ini yang beliau tukil dari As-Suddi dan lainnya. Adz-Dzahabi berkata, “Beliau adalah orang yang unggul dalam bidang tafsir, nasehat, sejarah, dan sedang-sedang saja dalam urusan madzhab.” Wallahu a’lam.

 

  • Tafsir Al-Qurthubi (Al-Jâmi’u li Ahkâm Al-Qur`an)

Pengarangnya adalah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Fahr Al-Qurthubi. Dikenal dengan Abu Abdillah Al-Qurthubi (lahir diantara tahun 600-610 H. dan wafat 671 H.) Aqidahnya adalah aqidah yang dianut oleh aliran Al-Asyâ’irah[5]. Dalam mengupas masalah aqidah, beliau banyak menukil dan bersandar pada pendapat para imam ‘Asyâ’irah, semisal: Al-Juwaini, Al-Baqillâni, Ar-Râzi, dan sebagainya. Dalam kitab tafsirnya ini, beliau menitikberatkan penjabarannya pada ayat-ayat yang mengandung hukum atau ayâtul ahkâm. Setiap membicarakan suatu ayat hukum, beliau selalu mengulas berbagai pendapat ulama berbagai madzhab yang berkaitan dengan persoalan tersebut. Meski beliau sendiri pengikut madzhab Maliki, namun dalam mengunggulkan suatu permasalahan beliau tidak ta’ashshub pada mazhabnya tersebut tetapi beliau selalu mengunggulkan dengan dalil. Penjelasan kosa kata yang rumit, ulasan tentang perbedaan bacaan dan kedudukan tata bahasanya, serta sedikitnya cerita-cerita isrâiliyat didalamnya menjadikan kitab ini sebagai kitab padat ilmu. Kesimpulannya, Tafsir Al-Qurthubi merupakan salah satu kitab tafsir yang terbaik dalam menafsirkan ayat-ayat hukum di dalam Al-Qur`an. Namun perlu waspada dengan aqidah yang dianutnya.

 

  • Tafsîr An-Nasafi (Madârik At-Tanzîl wa Haqâiq At-Ta`wîl)

Pengarangnya adalah Abdullah bin Ahmad bin Mahmud An-Nasafi (lahir sekitar tahun 600 H. dan wafat 701 H.) Aqidahnya adalah aqidah yang dianut oleh aliran Al-Asy’ariyah, bahkan ia termasuk ghulât Al-Asy’ariyah (ekstrim). Kitab tafsirnya merupakan ringkasan dari dua kitab tafsir, yaitu: Tafsir Al-Baidhawi dan Tafsir Al-Kasysyâf. Sekalipun beliau mengadopsi dari al-Kasysyâf, namun ia begitu getol mengkritik ketergelinciran-ketergelinciran yang terdapat di dalam tafsir tersebut. Tafsir ini merupakan kitab yang sederhana dalam ta’wil, namun mencakup seluruh segi I’rab dan qira’at. Yang menjadi catatan untuk kitab ini, disamping penakwilan penulis terhadap sifat-sifat Allah (mengikuti aliran al-Asyâi’rah), juga tercantum beberapa cerita isrâiliyat tanpa adanya peringatan di dalamnya, dan terlalu mengunggulkan mazhab Hanafi dalam istinbath fiqih. Wallahu a’lam.


  • Tafsir Al-Jalâlain (Jalâluddin Al-Mahalli dan Jalâluddin As-Suyûthi)

Kitab Tafsîr Al-Jalâlain terdiri atas dua jilid, masing-masing ditulis oleh seorang penulis. Mulai dari surat Al-Baqarah hingga akhir surat Al-Isrâ’ ditulis oleh Jalâluddin Abdurrahman bin Kamal bin Abu Bakar As-Suyûthi, yang dikenal dengan nama As-Suyûthi (lahir 849 H. dan wafat 921 H). Sedangkan mulai surat Al-Kahfi hingga surat An-Nâs ditulis oleh Jalâluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahally (lahir 769 H dan wafat 835 H.) Karena tafsir ini dikarang oleh dua orang, maka tafsir ini dinamakan dengan ‘Jalâlain’ yang berarti dua orang Jalâluddin. Dalam pembahasannya, kitab ini lebih menonjolkan segi pembahasan ilmu nahwu, sharaf dan qira`ahnya atau penganalisaan segi susunan kalimat, asal usul katanya, dan segi bacaannya. Disamping ringkas, kitab ini juga mudah dipahami. Namun ada yang perlu diperhatikan oleh pembaca, bahwa tafsir ini terjatuh pada penakwilan sifat-sifat Allah berdasarkan atas pemahaman aliran Al-‘Asyâ’irah, banyak menukil hadits-hadits asbâbul nuzûl serta atsar-atsar tanpa sanad dan juga tanpa sumber rujukan, disamping itu banyak cerita-cerita isrâiliyyat yang didiamkan oleh penulisnya tanpa memberikan catatan atau peringatan tentangnya. Wallahu a’lam.


  • Tafsir Al-Alûsi (Rûhul Ma’âni)

Pengarangnya adalah Syihâbuddin As-Sayyîd Mahmûd Al-Alûsi (lahir 1217 H. dan wafat 1270 H.) Aqidahnya lebih cendrung pada gulath(ekstrim) sufi. Kitab tafsirnya ini memuat beberapa pendapat ilmuwan-ilmuwan dan mengkompromikan ringkasan tafsir-tafsir terdahulu. Ia memberi banyak kritik pada riwayat-riwayat isrâiliyat. Namun dalam menafsirkan Al-Qur`an, Alûsi (sedikit banyaknya) mempergunakan tafsîr Al-Isyâri[6], baginya Al-Qur`an itu memiliki makna Zhahir dan makna Bathin. Beliau juga sering mengangkat syathahât (ilusi-ilusi) dari tokoh-tokoh sufi. Dalam masalah sifat-sifat Allah, terkadang beliau menetapkan dan terkadang pula menta’wilkan. Namun ghalibnya ia memenangkan aliran Al-Asyâ’irah sekalipun adakalanya beliau membantah mereka. Kesimpulannya, tafsir ini dapat dikatakan sebagai tafsir ensiklopedi, yang sebaiknya hanya dibaca oleh orang-orang yang luas pengetahuannya dalam ilmu aqidah yang shahih.

 

  • Tafsir As-Sa’di (Taisir Al-Karîm Ar-Rahman fi Tafsir Kalâm Al-Mannân)

Pengarangnya adalah Abdurrahman bin Nâshir bin Abdillah bin Nâshir, biasa disebut dengan Asy-Syaikh As-Sa’di (lahir 1307 H. dan wafat 1376 H.) Kitab ini, termasuk kitab tafsir kontemporer yang terbaik. Bahkan jika anda mau, katakanlah: Ia adalah kitab tafsir kontemporer yang terbaik. Di dalamnya mengandung aqidah yang benar, perhatian terhadap makna-makna Al-Qur`an tanpa fokus pada lafadh-lafadh dan mufradat (kosa-kata)nya, amat sedikit menyebut hadits namun makna-makna hadits disertakan saat penulis menjelaskan tafsir ayat, mengulas hukum-hukum fiqih yang terkandung di dalam ayat dengan bahasa yang lugas dan mudah tanpa memaparkan khilaf para ulama. Keistimewaan lainnya, beliau tidak memasukkan cerita-cerita isrâiliyat dalam kitab tafsirnya ini, bahkan beliau menolak dan membantahnya. Dan juga tidak menyebutkan ragam qira’ah karena beliau mencukupkan apa yang telah ditulis oleh para pendahulunya dari para mufassirin. Kesimpulannya: Ia adalah kitab tafsir yang mudah dan ringan yang selayaknya dibaca dan dimiliki oleh penuntut ilmu. Wallahu a’lam.

 


Ditulis oleh

Al-Faqîr Abu Halbas Muhammad Ayyub

DukuhDempok, Jember 8-Maret-2011

 


[1] Diantara aqidah yang dianut oleh para shalafus shalih dalam hal mengimani sifat-sifat Allah adalah dengan menetapkan apa-apa yang Allah tetapkan atas diri-Nya dan yang telah ditetapkan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam untuk-Nya, tanpa tahrif atau ta’wil (merubah lafazh dan makna dari Nama dan sifat Allah dari makna yang sebenarnya), ta’thil (menghilangkan dan menafikkan sifat-sifat Allah atau mengingkari seluruh atau sebagian sifat-sifat Allah ta’ala), serta tanpa takyif (menerangkan keadaan yang ada pada sifat atau mempertanyakan, “Bagaimana sifat Allah itu?”), dan tamtsil (yaitu mempersamakan atau menyerupakan sifat Allah dengan makhluk-Nya).

[2] Israiliyat adalah kabar-kabar yang kebanyakannya dinukilkan dari orang-orang Yahudi Bani Israil dan sebagian kecil berasal dari orang-orang Nashara. Kisah-kisah Israiliyyat terbagi menjadi tiga macam: Pertama, Kisah yang dibenarkan oleh Islam, maka hal tersebut adalah haq. Kedua, Kisah yang diingkari oleh Islam dan dipersaksikan bahwa kisah tersebut adalah dusta, maka ini adalah bathil. Ketiga, Kisah yang Islam tidak membenarkan tidak pula mengingkarinya, maka kita wajib mendiamkannya

[3] Tafsir ma`tsur (tafsir riwayat) adalah rangkaian keterangan yang terdapat di dalam Al-Qur`an, As-Sunnah, atau perkataan shahabat sebagai penjelasan maksud dari firman Allah, yaitu penafsiran Al-Qur`an dengan As-Sunnah Nabawiyah. Dengan demikian, maka tafsir ma`tsûr adalah tafsir Al-Qur`an dengan Al-Qur`an, penafsiran Al-Qur`an dengan As-Sunnah atau penafsiran Al-Qur`an dengan atsar yang timbul dari kalangan para shahabat.

[4] Adalah Kelompok pemuja akal. Muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan mati pada tahun 131 H. Di dalam menyebarkan bidahnya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah.

[5] Asyâ’irah adalah penisbatan terhadap Abul Hasan ‘Ali bin Ismail Al-Asy’ari. Seorang imam yang telah rujuk pada mazhab Ahlus sunnah wal Jama’ah. Kelompok ini hanya menetapkan tujuh sifat untuk Allah ta’ala yang mereka namakan dengan sifat Al-Ma’âni. Yaitu: Al-‘Ilmu, Al-Qudrah, Al-Irâdah, Al-Hayah, As-Sam’u, Al-Bashar, dan Al-Kalam. Adapun nama dan sifat-sifat Allah yang lainnya maka mereka ta’wilkannya (dan ini tentu menyelisihi aqidah ahlussunnah wal jam’ah). Kelompok ini tidak memiliki perhatian yang besar terhadap Tauhid Uluhiyyah yang mana tauhid ini merupakan pokok diutusnya para Rasul. Dan amat sedikit menyinggung Tauhid uluhiyyah dalam kitab-kitab mereka. Akibat dari itu semua, banyak diantara pengikut-pengikut kelompok ini yang terjatuh dalam bid’ah shufiyyah serta aliran-aliran kesyirikan.”

[6] Yaitu menafsirkan Al-Qur`an yang berlainan menurut Dhahir ayat karena adanya petunjuk-petunjuk yang tersirat dan hanya diketahu oleh sebagian ulama, atau hanya diketahui oleh orang-orang yang mengenal Allah. Menurut mereka (yang menggunakan tafsir ini) bahwa tafsir isyari tidak termasuk dalam ilmu hasil usaha/penemuan yang dapat dicapai dari pembahasan dan pemikiran, tetapi termasuk ilmu laduni, yaitu pemberian sebagai akibat dari ketakwaan, keistiqamahan dan kebaikan seseorang. Tafsir semacam ini sering digunakan oleh kelompok kebatinan.

 

Diskusi

2 respons untuk ‘Bedah Kitab Tafsir

  1. Assalamulaikum ust, bagaimana penilaian ulama tafsir tentang kitab tafsir misbahul Munir?? trus kitab tersebut karya siapa?? jazakumullah khoiran..

    Posted by Abdurrahman | April 6, 2012, 6:56 am
    • Tafsir mishbahul munir merupakan kitab ringkasan dari tafsir ibnu katsir yang diringkas oleh sekelompok ulama yang diketuai oleh asy-syaikh Shafiyurrahman al-Mubarak Fuuri. Kitab ini mendapat banyak pujian dari para penuntut ilmu. Hanya saja ada beberapa hal yang menjadi catatan untuk kitab tersebut:
      1. Ada beberapa tafsir ayat yang tidak dicantumkan padahal dalam kitab aslinya (tafsir ibnu katsir) tafsir ayat tersebut ada.
      2.Terkadang penafsiran yang rajih dari pengarang (Ibnu katsir) tidak tercantumkan.
      3.Banyaknya faedah-faedah berharga dari tulisan ibnu katsir yang tidak dicantumkan dalam kitab tersebut padahal faedah-faedah tersebut merupakan keistimewaan yang ada dalam tafsir ibnu katsir yang tidak terdapat dalam kitab tafsir yang lainnya.
      4. Masih banyaknya hadits-hadits lemah yang termuat didalam kitab tersebut padahal ibnu katsir sendiri telah memberikan penilaian lemah pada hadits2 tersebut.
      Untuk informasi lengkapnya lihat: http://www.tafsir.net/vb/tafsir16431/.

      Demikian beberapa penilaian untuk kitab tafsir Mishbahul Munir. Wallahu a’lam.

      Posted by bejanasunnah | April 6, 2012, 5:47 pm

Tinggalkan komentar